Pada tanggal 28 November sampai 2 Desember 2004, organisasi sosial-keagamaan terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU), menyelenggarakan hajatan besar, yakni Muktamar Ke-31 NU. Muktamar kali ini, sebagaimana diprediksi banyak kalangan, akan berlangsung sangat sengit sebagaimana muktamar di Situbondo 1984.
Muktamar ini diwarnai tarik-menarik kepentingan antara kubu gerakan kultural yang dalam pengertian ini mereka bergerak di wilayah kultural dan menolak adanya gerakan politik praktis dalam tubuh NU dengan 'kubu struktural , yakni para pengurus NU yang aktif sebagai fungsionaris dalam jajaran NU. Kelompok pertama direpresentasikan oleh kiai-kiai KH Abdurrahman Wahid dkk sementara kelompok kedua diwakili oleh KH Hasyim Muzadi, yang secara struktur Ketua Umum Tanfidziyah PBNU 1999-2004.
Kedua kelompok ini tidak hanya berseteru tentang bagaimana konsep dan masa depan NU tetapi juga sama-sama memiliki calon untuk didudukkan di kursi teratas, yakni Tanfidziyah. Sehingga, perseteruan tidak hanya berhenti pada bahstul masail, lebih sengit justru pada perseteruan pemilihan ketua umum tanfidziyah dan rais am. Justru persoalan yang terakhir ini yang lebih dominan dan memiliki ghirah semangat tinggi untuk saling menjatuhkan. Kedua kelompok tersebut sama-sama memikul kepentingan yang berbeda dan seakan sulit dipertemukan dalam satu forum muktamar.
Sesungguhnya, 'perseteruan' di internal NU dan tarik-menarik antara sayap kultural dan sayap aktivis fungsionaris struktural NU tersebut tidak perlu terjadi, jika tiga hal berikut diperhatikan. Pertama, perlu adanya jalinan komunikasi yang intim dan sinergi kekuatan yang padu dalam kedua jalur tersebut secara sekaligus, yaitu jalur struktural dan jalur kultural.
Sebab, bagi warga NU, yang paling inti dari dua strategi perjuangan tersebut baik yang kultural maupun yang struktural adalah semakin membaiknya taraf hidup nahdiyin. Oleh karena itu, bahu-membahu di antara keduanya akan cukup menentukan bagi kebaikan masyarakat NU terutama di tingkat grass root. Sebaliknya, sikap saling 'menggergaji' antarmereka justru akan merugikan warga NU sendiri.
Kedua, para warga NU yang menyebut dirinya kekuatan kultural ---dan secara politis mereka adalah elite Partai Kebangkita Bangsa (PKB), mesti memiliki komitmen ke-NU-an yang kuat, perlu diakui bahwa kehadiran mereka di panggung politik kepartaian dapat difungsikan bagi pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan warga NU di level akar rumput. Pada cita inilah, yang datang dari beragam partai politik itu dapat menemukan titik temu. Namun, sayangnya, komitmen ke-NU-an yang seharusnya menjadi panduan mereka itu hancur lebur karena perebutan kekuasaan dan pertengkaran individual di antara mereka sendiri. Kecuali hanya sebagian kecil saja, mereka lebih kentara disibukkan oleh aktivitas pengukiran karier politiknya sendiri, daripada yang lainnya.
Ketiga, partai politik yang dikelola oleh orang-orang NU termasuk disini adalah PKB mestinya lebih sensitif terhadap sejumlah perkara yang menjadi kebutuhan kaum nahdiyin. Misalnya, terhadap pentingnya peningkatan dana anggaran untuk perbaikan pendidikan di Indonesia, di mana kondisi pendidikan warga NU sangat memprihatinkan. Sebab, jika mau jujur, warga NU yang tinggal di dusun-dusun dan pedalaman, bukan hanya di luar Jawa melainkan juga di Pulau Jawa masih banyak yang illiterate, sehingga perlu mendapatkan penanganan serius dengan suntikan dana yang memadai. Dalam tataran itu, yang terjadi malah kebalikannya. Menghadapi melorotnya anggaran pendidikan di APBN, para politikus NU itu justru terlihat--maaf!--gontai dan kedodoran. Namun, yang perlu ditegaskan bahwa sebuah partai politik yang menjadi medium artikulasi dan penyaluran aspirasi warga NU tetaplah diperlukan, tanpa perlu menyulap NU sebagai partai politik. Harapannya, tentu bersama dengan partai-partai lain, partai tersebut dapat mendorong proses demokratisasi di Indonesia yang kini berlangsung, seraya dapat membagikan dana-dana pembangunan secara merata ke masyarakat bawah yang membutuhkannya. Dan, bagi NU sendiri, yang perlu dikembangkan sejatinya bukanlah 'politik kekuasaan' yang cenderung menguntungkan para elitenya, melainkan yang jauh lebih fundamental adalah 'politik kewargaan' yang coba berjuang bagi terentasnya warga NU dari belitan penderitaan dan kemiskinan yang selama ini menderanya.
Oleh karena itu, “perseteruan” antara dua kubu (kubu cultural vs kebu structural ) sudah sepantasnya harus segera diakhiri, karena hanya akan menjauhkan NU dari cita-citanya selama ini, yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat disegala bidang. Sebalaiknya integrasi antara dua kubu akan mempercepat proses terwujudnya kemakmuran bagi seluruh masyarakat, khusunya warga NU, sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri NU 80 tahun yang silam.
Dalam kerangka hal tersebut di atas, penting kiranya mencermati kembali tausiyah PBNU pada saat pemilu kemarin. Kalau dibaca lebih mendalam, tausyiah yang dikeluarkan oleh NU ini tidak hanya sebagai panduan moral bagi warga NU. Lebih jauh, pada prinsipnya tausyiah tersebut ingin kembali mengajak organisasi keagamaan di Indonesia untuk bergandengan bersama dalam merancang bangun demokratisasi di Indonesia. Sudah diketahui bersama bahwa peran organisasi keagamaan saat ini justru beralih fungsi dari media kekuatan kultural menjadi kekuatan politik.
Memang harus diakui bersama bahwa organisasi keagamaan di Indonesia semisal NU, Muhammadiyah, Persis dan lain sebagainya tidak hanya menjadi ruang integrasi sosial-keagamaan tetapi juga sebagai media terciptanya rasa kolektivitas yang membentuk identitas kelompok tertentu. Pada titik ini organisasi keagamaan tidak hanya memiliki ikatan struktural dengan warganya, tetapi merasuk menjadi ikatan emosional yang lebih mendalam.
Kepemilikan identitas ini pada gilirannya kerap menyebabkan tumbuhnya komunalisme dan fanatisme (ta'asshubiyah) yang dapat memecah kepentingan bersama seluruh bangsa. Dan dalam konteks politik, identitas tersebut menjadi semangat tumbuhnya politik aliran seperti yang diteliti oleh Geertz. Seperti yang diamati oleh Geertz pada tahun 70-an bahwa ternyata dalam momen pemilu pertarungan antar politik aliran menjadi begitu kental. Dan dikotomi politik aliran yang paling tegas adalah politik aliran berdasarkan organisasi keagamaan.
Harus diakui bersama bahwa tidak sedikit pula partai politik yang sampai saat ini masih merepresentasikan politik aliran walaupun secara eksplisit tumbuh sebagai partai terbuka. Pada konteks ini NU-Muhammadiyah dalam momen apapun bahkan dalam konteks politik telah memainkan kompetisi yang menyejarah. Kepentingan politik yang diemban oleh dua organisasi keagamaan dalam sejarah politik di Indonesia terus berjalan. Baik NU maupun Muhammadiyah bersikukuh untuk menempatkan kadernya dalam struktur pemerintah. Menjadi agenda besar bagaimana pentas politik di Indonesia melepaskan kepentingan komunalisme yang sudah mengakar ini.
Di sini, tausyiah yang dikeluarkan NU menjadi cukup relevan. Dalam hal ini tausyiah tersebut tidak hanya menjadi panduan bagi masyarakat NU tetapi memiliki agenda besar, yakni sebagai penerapan politik kebangsaan yang bersih dari kepentingan kelompok tertentu. Dengan ini, NU telah memainkan apa yang disebutkan dalam tausyiah tersebut, politik kenegaraan dan politik kebangsaan tanpa mencoba melebur dalam ranah politik kekuasaan. Posisi ini menjadi prestasi gemilang bagi NU yang dalam hal tertentu dibidik sebagai organisasi keagamaan masyarakat desa, tradisional. Namun patut dicatat bahwa dengan tausyiah ini NU seakan melontarkan isu baru tentang reformasi peran dan identitas organisasi keagamaan di Indonesia.
Peran yang dimainkan oleh NU saat ini patut menjadi contoh dan referensi bagi yang lain. Bahwa organisasi keagamaan yang kerap menampilkan sentimen politik aliran telah mampu memainkan peran yang lepas dari perayaan kepentingan politik kekuasaan, seperti yang ditampilkan oleh NU saat ini.
Tausyiah yang dikeluarkan oleh PBNU ini menjadi prasasti demokrasi di tubuh NU, khususnya dan sebagai contoh bagi organisasi keagamaan di Indonesia yang setiap momen pemilu kerap dijadikan tambang legitimasi politik kelompok tertentu.
Posisi ideal seperti inilah yang harus dimainkan oleh organisasi keagamaan dalam rangka ikut andil dalam politik kebangsaan di tanah air. Organisasi keagamaan tidak harus mengarahkan warganya pada arus dukungan kelompok tertentu tetapi harus mampu menjadi media kultural untuk membumikan demokratisasi di Indonesia (Tempo, 29/11/04).
Patut diakui meski ada kubu yang terus menentang dan menginginkan adanya perubahan di tubuh NU, namun KH Hasyim Muzadi tetap terpilih kembali dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo. Memang diakui ada banyak pihak yang ingin perubahan, tapi peserta Muktamar sesuai dengan tata tertib yang telah dirumuskan oleh pengurus cabang dan wilayah tetap memilih pasangan Sahal-Hasyim sebagai nahkoda Jami’iyah NU. Artinya, bahwa terpilihnya kai Hasyim untuk periode kedua kalinya ini bukan hal yang aneh dan sangat masuk akal karena ia menguasai secara struktural. Justru kalau Hasyim tidak terpilih, itu merupakan hal yang luar biasa. Berarti ada reformasi demikian ungkap Greg Barton Suatu ketika.
Meski demikian peran Gus Dur di arena Muktamar hakekatnya untuk mewarnai NU yang tetap terbuka untuk sebuah proses demokrasi. Sebab, hal itu sebagia bukti bahwa, di NU persoalan wibawa dan kharisma masih sangat kuat dan Gus Dur memiliki faktor itu. Dan dalam kenyataannya kharisma dan wibawa ini telah nampak luntur jika kita berkaca dalam muktamar NU ke-31 ini. Apakah kondisi dan realitas ini akan mengalami penurunan semangat (degradasi) dan soliditas warga nahdliyyin di tingkat akar rumput. Sebab, kita cukup memaklumi bahwa pada dasarnya NU adalah jaringan ulama dan pesantren. Semangat pesantrennya tidak akan hilang, hanya saja mungkin akan banyak kiai atau pesantren yang merasa tidak perlu aktif di organisasi NU. Tapi secara kultural mereka tetap NU (Duta, 3 Desember 2004).
Dinamika perkembangan NU pasca Muktamar ke-31, secara prinsip semua kaum Muslim yang masih punya hati nurani termasuk segenap warga NU sangat berharap agar ancaman Gus Dur untuk mufaroqoh tersebut jangan menjadi kenyataan. Semua kaum Muslim, sangat menginginkan agar NU tetap utuh dan tidak berpecah belah karena hanya akan memperlemah kekuatan NU itu sendiri. Untuk itu, setelah menduduki posisi sebagai Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi harus secepatnya mengambil inisiatif untuk mengakomodir semua aspirasi warga NU dan para kyai sepuh NU termasuk Gus Dur.
Pada saat yang sama, Hasyim Muzadi juga harus secepatnya mengubah gaya kepemimpinannya yang selama ini menekankan pendekatan politik ketimbang dengan pendekatan kultural yang bisa terterima oleh semua pihak. Pendeknya, kiai Hasyim jangan coba-coba lagi bermain api dengan menceburkan diri kedalam kancah politik praktis yang telah menyebabkan dirinya mengalami penolakan seperti sekarang dari kubu Gus Dur dan sejumlah sesepuh NU lainnya.
Tentang jalannya Muktamar NU ke-31 di Solo yang telah memilih kembali Hasyim Muzadi untuk masa jabatan kedua, Heidar Nasir (seorang tokoh Muhammadiyah) menyatakan, merasa bangga dengan tanda-tanda telah terjadinya peningkatan kesadaran gerakan civil society di kalangan warga NU. Karena itu pada kesempatan itu ia ingin mengucapkan selamat untuk Pak Hasyim Muzadi dan percaya kiai Hasyim akan mampu memimpin NU dengan catatan harus segera menggaungkan kesadaran civil society tersebut dan secara total meninggalkan panggung politik, hanya dengan cara itu dia akan bisa menyatukan semua pihak di tubuh NU, dan menyetukan basis potensial NU yakni kokohnya integrasi kelompok cultural dan Struktural dalam tenda besar NU yang senantiasa menyebarkan misi rahmatan lil-alamin dan mengayomi warganya dengan penuh pengabdian dan keikhlasan (Antara, 03 Desember 2004).
0 Komentar